Elang Muda Digdaya!
Perserikatan Sepakbola Sleman mengakhiri dahaga juara 6 tahun setelah terakhir kali mencatatkan diri sebagai kampiun liga 2 pada tahun 2018-
Rasanya tidak lagi mengejutkan. Tangisan juga seharusnya bukan lagi menjadi agenda kegiatan. 7 kali menang, 10 seri, dan 11 kali kalah membawa PSS 1 strip diatas jurang. Menang jarang, loyo di kandang, mengenaskan di momen yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk melaju jauh, seperti menegaskan bahwa PSS bukan lagi tidak baik-baik saja namun ia sedang dalam kondisi gawat darurat. 2019 menjajaki liga teratas dan selesai cukup memuaskan sebagai klub promosi. Setelahnya, ia mulai sakit-sakitan. 2023 masih diberi kesempatan untuk “hidup “lebih lama. Namun selepas itu hingga gameweek ini, kondisinya kembali memprihatinkan.
Mengacu kepada istilah kesehatan, PSS bisa dikategorikan sedang mengidap penyakit komorbid, atau singkatnya adalah sebuah kondisi dimana seseorang memiliki dua atau lebih penyakit secara bersamaan. Musim 2022/2023 PSS sangat memahami kondisi tersebut yang seharusnya menjadi akhir musim yang antiklimaks bagi PSS namun terselamatkan regulasi. Lantas, apa saja “penyakit” yang diidap PSS sejauh ini?
Problem struktural menjadi masalah mengapa PSS hanya terkesan dijalankan seadanya. BCS sendiri pernah menyuarakan keresahannya terhadap manajemen dengan dikeluarkannya “8 Tuntutan BCS”. Tuntutan tersebut sebetulnya cukup mewakili semua permasalahan PSS, namun kami menyoroti beberapa poin krusial diantaranya ; Mengoptimalkan Marketing and Business Development, Kepastian kompetisi dan akademi di berbagai jenjang usia, dan Penempatan SDM yang berkompeten di tubuh perusahaan hingga manajerial tim.
Bagi kami, branding PSS dan “Italia” bukanlah solusi jangka panjang. Bukan hal buruk, bahkan ide yang cukup baik namun PSS tidak bisa berlama-lama menggantungkan jati dirinya pada salah satu kelompok supporter. Fanatisme supporter seperti air dan api bagi pemain yang ingin/sedang diusahakan merapat ke PSS. Filtering alami inilah yang terkadang menyulitkan PSS mendatangkan pemain-pemain incarannya karena suporter adalah faktor yang sangat subjektif. Bahkan mereka tak jarang memilih tawaran dari klub lain padahal bisa saja PSS memberikan tawaran kontrak yang lebih menjanjikan. Menggantungkan sebuah identitas klub terhadap sesuatu yang dinamis adalah perjudian yang beresiko. Di sisi lain, suporter itu pun akan merasa memiliki beban moral untuk terus bertahan walaupun secara sadar tanpa kondisi ini pun mereka sudah mengerti apa yang harus mereka lakukan. Lagipula, Bagaimana ceritanya kalian dengan bangga merekatkan sematan yang dibuat pendukungnya tapi hampir tidak pernah mendengarkan keluh kesah mereka? Di situasi ini, tim Marketing dan Business Development harus bekerja lebih cerdas untuk meracik formula tentang bagaimana PSS yang lebih “menjual” baik terhadap sayap-sayapnya sendiri maupun untuk kebutuhan sponsor yang fleksibel dan bertahan dalam waktu yang lama.
Selanjutnya, pembinaan usia muda secara konsisten juga dapat menjadi investasi sekaligus aset yang sangat berharga bagi PSS. Pemberian kontrak secara professional, membangun pendidikan secara berimbang antara akademik dan sepakbola, serta menggiatkan kompetisi internal dengan berbagai level capaian akan menggairahkan persaingan di usia muda. Gairah persaingan itulah yang akan membentuk suasana persaingan yang kompetitif dan PSS akan lebih mudah untuk mendapatkan opsi pemain muda berkualitas karena kompetisi ini nantinya bukan hanya sekedar formalitas persyaratan keikutsertaan Liga.
Semua hal di atas hanya akan efektif bila dilaksanakan dan dikontrol secara optimal oleh tim yang benar-benar solid dan mengerti permasalahan PSS beserta situasi sepakbola Indonesia secara umum. Pemilihan SDM secara tepat dan penerapan sistem meritokrasi dalam lingkungan kerja seharusnya lebih cukup untuk membuat PSS dijalankan secara profesional, sehingga seluruh program yang telah direncakana dapat terlaksana dan sustain dalam waktu yang cukup lama mengingat sudah sejak lama pendukung PSS cukup terbuka dengan ajakan kolaboratif dari berbagai pihak tak terkecuali manajemen PSS.
Kita tau ini bukan hal yang mudah. Namun dengan sinergi yang baik dan efektif seharusnya bisa menguraikan benang kusut PSS secara bertahap dan penyakit “berkutat di zona degradasi” setiap musim dapat segera sembuh.
oleh RM
Perserikatan Sepakbola Sleman mengakhiri dahaga juara 6 tahun setelah terakhir kali mencatatkan diri sebagai kampiun liga 2 pada tahun 2018-
Teras sorak ini makin lama makin berumur.
Hari ini, kita hidup dengan kenyataan bahwa stadion telah tersekat dengan berbagai pagar dan tembok tinggi yang menjulang.
Berbicara tentang regenerasi di dalam suatu kelompok suporter sepakbola dan secara klub-
Belakangan ini mendung kerap mampir menutupi seantero Sleman-