PSS dan Gejala Komorbid
Rasanya tidak lagi mengejutkan. Tangisan juga seharusnya bukan lagi menjadi agenda kegiatan.
Belakangan ini mendung kerap mampir menutupi seantero Sleman, kekalahan demi kekalahan terpaksa kita telan bulat-bulat, kembali kita ke masa-masa berat. Yang saya tau, anak-anak sleman tak pernah tinggal diam, bertahun lamanya tiap gelap datang kita menguntai api. Ya, sekuat mungkin kita melawan.
Di masa-masa seperti ini saya merindu betul, perjuangan serta perlawanan demi perubahan kita dulu, masing-masing dari kita selalu punya cara tersendiri untuk menyampaikan suaranya, setapak demi setapak bergerak secara organik, bukankah selalu begitu kita?
Bukankah ini saatnya kita mulai lagi? Atas keresahan-keresahan kita yang selalu sama, selalu dijejali permainan buruk dan rasa resah juga gelisah dengan ancaman turun kasta yang semakin nyata.
Bagaimana jika kita mulai menguntai api lagi?, kita buat kembali secercah cahaya di tengah gelapnya takdir. Kita tabrak, kita lawan kembali yang kiranya menghalangi, seperti yang dulu-dulu yang sudah-sudah. Sebelum mimpi kita benar-benar mati, mari lakukan kembali.
Ditulis oleh Aperto Boys. Dicetak dalam bentuk fisik dan dibagikan pada match PSS vs Persita (14/3/24)
Rasanya tidak lagi mengejutkan. Tangisan juga seharusnya bukan lagi menjadi agenda kegiatan.
Perserikatan Sepakbola Sleman mengakhiri dahaga juara 6 tahun setelah terakhir kali mencatatkan diri sebagai kampiun liga 2 pada tahun 2018-
Teras sorak ini makin lama makin berumur.
Hari ini, kita hidup dengan kenyataan bahwa stadion telah tersekat dengan berbagai pagar dan tembok tinggi yang menjulang.
Berbicara tentang regenerasi di dalam suatu kelompok suporter sepakbola dan secara klub-