PSS dan Gejala Komorbid
Rasanya tidak lagi mengejutkan. Tangisan juga seharusnya bukan lagi menjadi agenda kegiatan.
Teras sorak ini makin lama makin berumur. Alih alih tenang, yang namanya semakin tambah umurnya, pastilah terjangan akan semakin banyak dan semakin beragam pula polanya. Luar dan dalam sama sama besarnya dalam memunculkan segala kemungkinan dinamika. Seandainya saja terjangan badai ada di kalender, mungkin jauh jauh hari kita sudah menemukan formula penangkalnya. Namun, realitanya tidaklah seperti itu. Maka, marilah kita berandai-andai, mencoba menerka dan meraba di masa mendatang badai seperti apa yang akan mencoba menggoyahkan keeratan jabat tangan yang telah kita jalin bersama. Bisa kita mulai dengan melihat lingkungan kanan dan kiri, depan dan belakang. Mari kita kuatkan pondasi. Mari kita kencangkan sabuk pengaman pada diri.
Hipotesa pertama melihat bahwa beberapa diantara kita mulai mengutamakan ego daripada kepentingan bersama. Yang tua enggan kalah dari yang muda, dan yang muda begitu keras kepala mengutarakan pemikirannya. Banyak aspek yang memantik kemunculan ini, misalnya, terdapat seseorang yang tidak terima jika diingatkan kalau tindakannya menyimpang dari manifesto. Jika di luar teras torak, hal ini bisa kita jumpai di saat beradu argumen di lini masa sosial media. Di sana terdapat beberapa orang yang mengcounter argumen orang lain dengan kalimat yang berujung ajakan baku hantam. Seandainya dirunut, sebenarnya masing-masing dari kita ada celah untuk salah. Begitu juga dengan kebenaran, kita masing masing memiliki porsinya.
Memang benar bahwa kita berada di dunia suporter, sebuah dunia yang begitu keras. Namun, apakah segala dinamika yang datang dari isi kepala saudaranya sendiri harus dipangkas dengan kekerasan? Bukankah untuk menyelesaikan dinamika ini tak perlu pakai cara baku hantam, karena sejatinya kita sama: Pendukung PSS Sleman?
Sudah selayaknya kita intropeksi dan saling mawas diri. Memang benar, tidak melulu orang yang lebih tua bisa digugu, juga tidak seterusnya yang muda teracuh. Tetapi, bukankah kalimat, “Menjabat yang tua, merangkul yang muda”, adalah kalimat yang dulunya menjadi sebuah pelecut dari kita untuk saling bercengkrama tanpa memandang sekat orang baru dan lama? Dan bukankah manifesto “No Leader Just Together” masih menjadi tiang-tiang penyangga wadah kecil ini? Mari beradu gagasan untuk menyelesaikan segala dinamika yang ada di barisan, bukan malah beradu pukulan yang bisa melukai antar sesama saudara.
Hipotesa selanjutnya tak lain adalah keuntungan material. Bagiku hal tersebut adalah hal seksi. Jangan perkara uang, keeratan yang kita jalin jadi ternodai. Sudah waktunya cash flow membersamai gerak-gerik di segala ranah usaha dan acara kita. Mungkin selama ini kita kekurangan SDM untuk itu. Mungkin, dimulai hari ini kita harus datang untuk membantu meringankan segala kepusingan di kepengurusan. Mari bersama-sama bertukar lelah demi mewujudkan “Mandiri Menghidupi” terang benderang di cakrawala tribun selatan.
Semoga kedua hipotesis itu bisa menjadi pemantik sekaligus pelecut bagi kita untuk menguatkan kembali kekokohan dalam barisan. Mari berbenah bersama. Mari tegakkan kembali.
Ditulis oleh Sarwi_Yoi. Dicetak dalam bentuk fisik dan dibagikan pada match PSS vs Persita (14/3/24)
Rasanya tidak lagi mengejutkan. Tangisan juga seharusnya bukan lagi menjadi agenda kegiatan.
Perserikatan Sepakbola Sleman mengakhiri dahaga juara 6 tahun setelah terakhir kali mencatatkan diri sebagai kampiun liga 2 pada tahun 2018-
Hari ini, kita hidup dengan kenyataan bahwa stadion telah tersekat dengan berbagai pagar dan tembok tinggi yang menjulang.
Berbicara tentang regenerasi di dalam suatu kelompok suporter sepakbola dan secara klub-
Belakangan ini mendung kerap mampir menutupi seantero Sleman-