PSS dan Gejala Komorbid
Rasanya tidak lagi mengejutkan. Tangisan juga seharusnya bukan lagi menjadi agenda kegiatan.
Hari ini, kita hidup dengan kenyataan bahwa stadion telah tersekat dengan berbagai pagar dan tembok tinggi yang menjulang. Lalu kembali dipersekat dengan memisahkan masyarakat berdasarkan kelasnya melalui harga tiket yang tidak wajar. Belum lagi regulasi federasi yang membuat menonton sepakbola harus memenuhi segala “administrasi” yang pada hakikatnya tidak terlalu berguna dan terkesan normatif. Hanya untuk menonton sepakbola kita harus melalui banyak halang-rintang yang menghadang. Dengan segala hormat, apakah tidak ada satupun sarana yang benar-benar bisa kita gunakan? Seperti, kebebasan berekspresi, mungkin?
Suporter pada dasarnya sudah memiliki ruang yang leluasa untuk mereka bersuara. Di teras rumah kita sendirilah seharusnya kita bebas untuk “berbincang” mengenai apapun dengan anggota keluarga kami yang lainnya. Sekat-sekat yang mengikat selama ini tanpa kita sadari telah membatasi ruang berekspresi yang biasa kita lakukan. Begitu lucu dan unik ketika sebuah pemilik rumah tidak bisa berlika-liku di rumahnya sendiri.
Kita semua tahu, upaya bersuara melalui teras stadion menjadi pilihan terbaik dari yang terburuk, mengingat tingginya kemungkinan untuk dipersekusi di ruang publik lainnya. Bukan kali pertama para pemilik rumah ini berupaya diasingkan. Demi menyuarakan hak-hak yang terampas, mereka dikriminalisasi dengan berbagai alasan yang dibuat-buat. Konflik agraria Petani Pakel yang disuarakan di Jember, kriminalisasi supporter di Gresik dan Bandung, lalu penghilangan barang bukti dan percobaan rekayasa kasus Kanjuruhan yang dipaksakan selesai secara tidak logis dengan diperparah adanya kriminalisasi Sam Ambon Fanda dkk dan berbagai contoh lainnya yang tidak cukup kami sebutkan satu persatu sejatinya menjadi alarm peringatan tanda bahaya. Ruang kebebasan mulai memuai di tanah sendiri dan hukum semakin tumpul bagi orang yang penuh kuasa.
Semakin banyak PR yang harus kita selesaikan saat ini. Impunitas dan abuse of power dari aparat dan penegak hukum menjadi ancaman yang tidak bisa dianggap sebelah mata. Cukupkan saja kita tak menambah pekerjaan rumah dengan menurunkan sedikit ego untuk bersolidaritas tanpa harus memikirkan rivalitas. Hapuskan benih-benih fasis yang menganggap salah satu kelompok lebih mulia dan berhenti menyimpulkan bahwa apa yang dialami saudara-saudara kita yang tak sewarna adalah karma atas apa yang mereka tuai. Apa yang mereka alami kini juga bisa kita alami nantinya. Sejarah ini tak pernah kami inginkan kehadirannya. Hanya dengan berjabat erat satu sama lain lah kita mampu menghentikan siklus neraka ini.
Kebebasan di teras stadion harus terus diperjuangkan. Mengembalikan marwah stadion sebagai ruang yang aman dan terbuka untuk segala ekspresi dan pendapat mungkin akan menjadi momentum awal untuk membuka belenggu kebebasan di ruang-ruang publik lainnya. Munculnya sepakbola alternatif adalah salah satu solusi yang berhasil namun juga menjadi tanda akan hilangnya rumah-rumah kita yang semestinya. Sudah seharusnya kita “berdaulat” atas rumah kita sendiri. Dengan membiasakan bersuara akan membuat api-api harapan terus menyala, lalu memicu lilin-lilin lain yang sudah padam untuk kembali hidup dan menerangi sekelilingnya.
Ditulis oleh RM. Dicetak dalam bentuk fisik dan dibagikan pada match PSS vs Persita (14/3/24)
Rasanya tidak lagi mengejutkan. Tangisan juga seharusnya bukan lagi menjadi agenda kegiatan.
Perserikatan Sepakbola Sleman mengakhiri dahaga juara 6 tahun setelah terakhir kali mencatatkan diri sebagai kampiun liga 2 pada tahun 2018-
Teras sorak ini makin lama makin berumur.
Berbicara tentang regenerasi di dalam suatu kelompok suporter sepakbola dan secara klub-
Belakangan ini mendung kerap mampir menutupi seantero Sleman-