Kriiingg…Tagihan Awal Musim
Sebagai wadah pendukung PSS yang berasal dari ragam daerah, atau bahkan beberap tumbuh besar di luar lingkup Sleman dan sekitarnya sedari kecil, kami menilai~
Ada satu tempat di dunia ini yang tak pernah menanyakan siapa namamu, dari mana asalmu, atau berapa saldo rekeningmu. Tempat yang tak peduli kau datang dengan sepatu mahal atau jaket murahan, yang penting kau datang dengan hati. Namanya tribun.
Tribun bukan cuma deretan bangku dan suara gaduh. Ia lebih dari itu. Ia adalah rumah. Tempat di mana orang-orang yang tak saling kenal bisa saling peluk saat gol tercipta. Tempat di mana air mata dan tawa tak punya batas usia. Anak kecil, orang tua, pekerja, mahasiswa, semua duduk sejajar dan setara. Semua berdiri untuk alasan yang sama: cinta.
Namun cinta, seperti halnya rumah, perlu dijaga. Ia bisa rusak jika kita lengah. Oleh karenanya, kita perlu menjaga tribun dari hal-hal yang diam-diam bisa merusaknya: seksisme, rasisme, dan fasisme.
Seksisme sering datang tanpa suara.
Ia muncul dalam candaan, dalam lirikan merendahkan, dalam kalimat-kalimat yang menganggap perempuan hanya “penggembira.” Padahal di tribun, perempuan tak sekadar hadir—mereka ikut bernyanyi, ikut marah saat timnya dicurangi, ikut hening saat timnya kalah. Mereka bukan tamu, mereka tuan rumah. Maka siapa pun yang datang, harus paham: tribun ini milik semua, bukan segelintir saja.
Rasisme adalah luka lama yang tak boleh dibiarkan terbuka.
Tribun mengajarkan kita satu hal sederhana: ketika kau berdiri dan menyanyikan chant, kulitmu tak punya suara. Hanya hatimu yang bicara. Maka hinaan, ejekan, atau cibiran berdasarkan ras bukan hanya menyakiti satu orang—ia melukai seluruh rumah ini. Karena kita datang bukan untuk melihat perbedaan, tapi merayakan semangat yang sama.
Fasisme… ia datang seperti bayangan.
Tak selalu terlihat, tapi terasa. Ia membisikkan bahwa hanya “yang lama” yang pantas bersuara, hanya “yang asli” yang layak di depan. Padahal kekuatan tribun justru ada pada keberagaman: yang baru dan lama, yang pendiam dan lantang, yang datang tiap pekan atau baru sekali dua kali. Semuanya bagian dari semangat yang tak bisa dibeli—hanya bisa dirasakan.
Di tribun, semua orang punya tempat.
Semua orang berhak merasa aman.
Semua orang berhak merasa dihormati.
Semua orang berhak bersuara.
Kita tidak sedang membicarakan politik. Kita sedang bicara tentang nilai dasar sebagai manusia. Tentang bagaimana menciptakan tempat yang tak hanya ramai, tapi juga ramah. Tentang bagaimana kita bisa duduk berdampingan tanpa saling menilai, tapi saling menjaga.
Karena pada akhirnya, yang kita cari bukan hanya kemenangan di papan skor. Kita cari kemenangan yang lebih dalam—rasa memiliki, rasa diterima, rasa bahwa kita bagian dari sesuatu yang besar dan hangat.
Maka mari kita rawat tribun ini. Dengan kata yang baik. Dengan mata yang terbuka. Dengan tangan yang siap menolong.
Bukan untuk diri sendiri, tapi untuk semua yang datang setelah kita—yang ingin merasakan bagaimana rasanya disambut, bukan dihakimi.
Tribun bukan sekadar tempat duduk.
Ia adalah pelukan yang tak memandang siapa.
Ia adalah nyanyian yang tak mengenal ego.
Ia adalah getaran yang membuat kita semua sama.Dan di dalam getaran itu,
Kita temukan kegembiraan.
Kita temukan rumah.
Kita temukan… Gate of Joy.
Sebuah pandangan untuk menjaga api di masa mendatang.
Gate of Joy, not a firm, or even a wave, it's a stance to make a joyful terrace wherever we stand.
oleh NN-SJ, Mei 2025.