Semburat Warna Perlawanan
Sorak-sorak nyanyian dan nyala suar selalu menjadi hal yang dirindukan dalam sebuah pesta.
Semesta meletakkanku di sebuah tempat yang erat dan kental akan warisan kegemaran terhadap klub sepakbola Kotamadya. Aku bisa mengatakan bahwa sejatinya aku ditakdirkan untuk menjadi bagiannya bahkan sejak aku masih dalam angan-angan kedua orangtuaku. Namun ternyata takdir berkata lain. Entah aku harus mulai cerita ini dari mana. Bahkan pertanyaan “Kok iso?” dari orang-orang pun tak pernah terjawab. Aku benar-benar tak ingat kejadian apa yang menjadi titik awalku mencintai klub di sisi utara DIY ini.
Sewaktu masih duduk di bangku kelas 5, aku hanya menjadi penyimak ketika teman-temanku bercerita tentang PSS. Aku sama sekali tak mengerti, entah karena lingkunganku 100% putune simbah atau aku yang masih belum cukup umur untuk bisa memahaminya. PSS tidak pernah ada di kamusku kala itu. Naik kelas 6 aku mulai sedikit bisa mengikuti pembahasan mereka. Aku masih ingat obrolan yang terasa sangat seru (bahkan mungkin itu bisa dibilang paling seru dari yang sudah-sudah, ya walau hanya sebatas omongan sok paham bocah SD) setelah PSS memenangkan pertandingan 5–0 kontra Persiraja. Tapi serunya pembicaraan itu tentu kalah seru dengan pencapaian PSS yang telah berhasil menjadi juara dan lolos ke kasta tertinggi. Rindu rasanya menulis ini. Sekarang aku tak lagi mengetahui kabar mereka. Hanya 2 orang yang masih bisa ku ketahui kabarnya dari sosial media, tapi rasanya
pun sekarang sudah asing.
Memasuki awal jenjang menengah, aku menemukan teman yang sama-sama menyukai PSS Sleman. Sekolah kami di tengah kota, hanya 2 menit dari Tugu dan 10 menit dari Mandala Krida jika ditempuh dengan motor. Tak banyak yang terang-terangan menunjukkan kalau ada yang suka PSS. Tapi aku dan satu temanku ini masa bodoh dengan hal itu. Bagi kami, tak ada yang salah dengan menyukai PSS di tengah kerumunan penggemar Laskar Mataram. Semua urusan masing-masing.
Satu hari, aku yang sudah semakin paham dengan sepak bola akhirnya berniat untuk menonton langsung ke stadion. Berbekal kepandaian berbicara dan dengan menambahkan bumbu-bumbu bualan untuk memuluskan langkahku melihat PSS berlaga tak menemui kabar gembira. Benar, orang tuaku tak pernah merestuiku mengenali sepakbola dan seisinya. Dari hari itu aku menerima kalau memang aku tak akan pernah berjumpa sang punggawa secara langsung dan harus ikhlas untuk mencari kabarnya melalui gawai pribadiku. Sebuah keadaan yang seharusnya melunturkan minatku terhadap sepakbola maupun PSS Sleman. Syukurlah itu tak pernah terjadi.
Waktu demi waktu telah berlalu. Pandemi dan segala kesunyiannya juga kulalui. Hingga akhirnya liga kembali bergulir dan apesnya PSS mengalami tren negatif. Manajemen yang kebacut juga ikut memperkeruh suasana. #DejanOut dan #ArthurOut mewarnai linimasa. 8 November 2021 menjadi kali pertamaku (setelah 4 tahun lamanya) merasakan atmosfer supporter PSS Sleman. Aku yang waktu itu masih 15 tahun nekat menyusul temanku ke Tridadi, sendirian. Mengikuti aksi yang terjadi dengan terucapnya sumpah serapah dan segala luapan emosi. Peristiwa yang setelah aku pikir ulang, apa yang aku lalui saat itu benar-benar tak sampai nalar, bahkan terlampau jauh. Entah teguran Tuhan karena aku membohongi ibuku atau apa, hujan turun deras. Dengan panik kulepas sepatuku dan langsung kupakai jas hujanku. Hal yang membuatku lebih panik adalah jalanan rumahku yang kering tanpa tetesan air sedikitpun. Kulepas jas hujanku beberapa kilo dari rumah agar tak ditanyai ibuku. Cukup gila bahwa PSS mampu membuatku seperti itu di umurku yang cukup dini
untuk mengenal itu semua.
Berulang kali aku melakukan hal yang sama hanya untuk melihat sebelas orang berseragam hijau lari-larian tanpa tujuan. Hidup ditengah rasa frustasi atas hasil pertandingan dan cemas akan pikiran orang tuaku di rumah terjadi hampir setiap laga kandang. Seharusnya ibuku tau bahwa aku sedang melawan peraturannya. Tak jarang pula aku menerima hukuman darinya. Apakah aku menyesal dan kapok? Tentu tidak. PSS melahirkan orang-orang gila yang mungkin aku salah satu generasi barunya. Mengakali segala peristiwa aku lakukan demi bisa
melihatnya lagi, apapun keadaanya.
Aku mulai menyadari, dedikasiku selama ini hanya untuk melihat PSS adalah sebuah perlawanan. Melawan sebuah alur cerita yang ditentukan dengan segala plot dan pendukungnya, namun aku memilih untuk membuat alur ceritaku sendiri. Oleh karenanya, melihat PSS ruwet pun aku tak akan segan untuk mengingatkannya, karena ia adalah bagian dari alur yang kubuat dan kujaga eksistensinya. Aku yakin orang-orang dengan kegilaan ini tak cuma aku seorang. Sejauh ini aku berhasil menjawab keraguan dan ketakutanku sendiri. Perasaan ini sudah terpupuk dan akan semakin membesar, sekalipun aku harus berdiri sendiri seperti sekepal lumut di tengah birunya lautan.
Ditulis oleh NV. Dicetak dalam bentuk fisik pada “Nonton Bareng PSS vs barito” (26/11/23).